Mencoba Berbagi
Berharap tulisan di blog hukum ini dapat membantu dan bermanfaat. :)
Jumat, 27 November 2015
PERKUMPULAN DALAM MENGAJUKAN GUGATAN HUKUM
Kamis, 05 November 2015
Minggu, 16 Februari 2014
SURAT KUASA KHUSUS
Jumat, 15 Februari 2013
BERAKHIRNYA SUATU PERJANJIAN INTERNASIONAL
Rabu, 13 Februari 2013
JENIS-JENIS PERJANJIAN INTERNASIONAL
Perjanjian internasional sebagai sumber hukum formal dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Klasifikasi perjanjian dilihat dari segi pihak-pihak yang mengadakan perjanjian yaitu:
a. Perjanjian antar-negara, merupakan jenis perjanjian yang jumlahnya banyak, hal ini dapat dimaklumi karena negara merupakan subyek hukum internasional yang paling utama dan klasik.
b. Perjanjian antar negara dengan subyek hukum internasional lainnya seperti negara dengan organisasi internasional.
c. Perjanjian antara subyek hukum internasional selain negara satu sama lain.
2. Klasifikasi perjanjian dilihat dari proses atau tahap pembentukannya.
a. Perjanjian yang pembentukannya diadakan melalui tiga tahap yaitu;
(1) perundingan, (2) penandatanganan dan (3) ratifikasi, dan biasanya diadakan untuk hal-hal yang dianggap penting sehingga memerlukan persetujuan dari badan yang memiliki hak untuk mengadakan perjanjian.
b. Perjanjian yang pembentukannya hanya melalui dua tahap karena memerlukan penyelesaian yang cepat, yaitu perundingan dan kemudian penandatanganan. Seperti perjanjian perdagangan yang berjangka pendek.
3. Klasifikasi perjanjian dilihat dari pihak yang membuatnya.
a. Perjanjian bilateral, yaitu suatu perjanjian yang diadakan oleh dua pihak (negara) saja dan mengatur soal-soal khusus yang menyangkut kepentingan kedua belahpihak. Misalnya perjanjian mengenai batas negara.
b. Perjanjian multilateral adalah perjanjian yang diadakan banyak pihak (negara) yang pada umumnya merupakan perjanjian terbuka (openverdrag) di mana hal-hal yang diaturnyapun lazimnya yang menyangkut kepentingan umum yang tidak terbatas pada kepentingan pihak-pihak yang mengadakan perjanjian yetapi juga menyangkut kepentingan yang bukan peserta perjanjian itu sendiri. Perjanjian ini digolongkan pada perjanjian law making treaties atau perjanjian yang membentuk hukum.
4. Klasifikasi perjanjian ditinjau dari bentuknya.
a. Perjanjian antar Kepala Negara (head of state form) Pihak peserta dari perjanjian disebut pihak peserta agung (High Contracting State)
Dalam praktek pihak yang mewakili negara dapat diwakilkan kepada MENLU atau DUBES atau dapat juga pejabat yang ditunjuk sebagai kuasa penuh (full powers).
b. Perjanjian antar Pemerintah (inter-Goverment form). Perjanjian ini juga sering dtunjuk MENLU atau DUBES atau juga wakil berkuasa penuh. Pihak perjanjian ini tetap disebut contracting state walaupun perjanjian itu dinamakan inter govermental.
c. Perjanjian antar negara (inter-state form), pejabat yang mewakili dapat ditunjuk MENLU, DUBES atau wakil kuasa penuh.
5. Klasifikasi perjanjian dilihat dari sifat pelaksananya.
a. Dispotive treaties (perjanjian yang menentukan) yang maksud tujuannya dianggap selesai atau sudah tercapai dengan pelaksanaan perjanjian itu.
Contoh: Perjanjian tapal batas.
b. Executory treaties (perjanjian yang dilaksanakan) adalah perjanjian yang pelaksanaanya tidak sekaligus, melainkan dilanjutkan terus menerus selama jangka waktu perjanjian itu. Contoh perjanjian perdagangan.
6. Klasifikasi perjanjian dilihat dari segi strukturnya.
a. Law making treaties merupakan perjanjian internasional yang mengandung kaidah-kaidah hukum yang dapat berlaku secara universal bagi anggota-anggota masyarakat bangsa-bangsa, oleh karena itu jenis perjanjian ini dikategorigakan sebagai sumber langsung dari hukum internasional, yang terbuka bagi pihak lain yang tadinya tidak turut serta dalam perjanjian.
b. Treaty contracts (perjanjian yang bersifat kontrak) dimaksudkan perjanjian ini megikat pihak-pihak yang mengadakan perjanjian-perjanjian. Legal effect dari treaty contract ini hanya menyangkut pihak-pihak yang mengadakannya Dan tertutup bagi pihak ketiga. Oleh karena itu treaty contact tidak melahirkan aturan-aturan hukum yang berlaku umum sehingga tidak dapat dikategorukan sebagai perjanjian yang membentuk hukum. Tetapi treaty contact dapat menjadi kaidah-kaidah yang berlaku umum apabila sudah menjadi hukum kebiasaan Internaional.
-----------
DAFTAR PUSTAKA
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Alumni 2003.
Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, Bandung: Refika Utama 2006.
Starke, J.G., Pengantar Hukum Internasional, Jakarta: Sinar Grafika
Sam Suhaidi,_____________, Bandung: 1968
Selasa, 12 Februari 2013
Pengertian Perjanjian Internasional
Senin, 11 Februari 2013
KEJAHATAN HAM BERAT (bagian 2)
Menurut De Gusman ada tiga ciri penting bahwa suatu kejahatan tersebut dikualifikasikan kedalam kejahatan kemanusiaan. Pertama, adanya serangan yang sistematis dan menyebar luas (the existence of a widespread or systematic attack). Kedua, yang menjadi korban adalah kelompok sipil (against civilian). Ketiga, yang dilakukan sebagai kelanjutan dari penerapan dari suatu kebijakan negara (the attack is in furthterance of a policy). Ketiga unsur tersebut dipandang sebagai kejahatab pidana internasional oleh karena esensinya telah menimbulkan gangguan terhadap moral dan tata tertib hukum internasional.Sedangkan menurut Bassiouni kualifikasi terhadap kejahatan kemanusiaan terdiri dari lima unsur, (1) kejahatan khusu yang dilakukan sebagai bagian dari kebijakan negara; (2) tindakan yang didasarkan kepada penenkanan dan diskriminasi terhadap suatu grup yang personalitanya dapat diidentifikasi; (3) tindakan-tindakan tersebut dilakukan sebagai kejahatan dalam hukum pidana nasional suatu negara; (4) hal itu dilakukan oleh petugas atau pejabat negara atau agen-agen terkait dalam pelaksanaan kebijakan; (5) kejahatan khusus tersebut dapat dikaitkan kepada perang diatas hukum atas Piagam Hukum.
Dalam Pasal 7 Statuta Roma disebutkan bahwa kejahatan kemanusiaan adalah kejahatan-kejahatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas dan sistematik yang ditujukan kepada suatu kelompok sipil, dengan mengetahui adanya serangan itu. Adapun yang termasuk dalam lingkup kejahatan kemanusiaan menurut Pasal 7 Statuta Roma adalah:
1. Pembunuhan;
2. Pemusnahan;
3. Perbudakan;
4. Deportasi atau pemindahan paksa penduduk;
5. Pemenjaraan atau perampasan berat atas kebebasan fisik dengan melanggar aturan-aturan dasar pelanggaran hukum internasional;
6. Penyiksaan;
7. Perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi, penghamilan paksa, pemaksaan sterilisasi, atau suatu bentuk kekerasan seksual lain yang cukup berat;
8. Persekusi (Penganiayaan) terhadap suatu kelompok yang dapat diidentifikasi atau kolektivitas atas dasar politik, ras, nasional, etnis, budaya, agama, gender, sebagai didefenisikan dalam ayat 3, atau atas dasar lain yang secara universal diakui sebagai tidak diijinkan berdasarkan hukum internasional, yang berhubungan dalam setiap perbuatan yang dimaksud dalam ayat ini atau setiap kejahatan yang berada dalam jurisdiksi mahkamah;
9. Penghilangan paksa;
10. Kejahatan apartheid;
11. Perbuatan tidak manusiawi lain dengan sifat sama yang secara sengaja menyebabkan penderitaan berat, atau luka serius terhadap badan atau mental atau kesehatan fisik.
Sedangkan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dalam Pasal 9 merujuk pengertian kejahatan terhadap kemanusiaan yang sama dengan isi Pasal 7 Statuta Roma, kecuali poin (k) yang tidak disertakan dalam Pasal 9.
3) Kejahatan Perang
Istilah kejahatan perang dalam Statuta Roma secara eksplisit dicantumkan dalam Pasal 8. Selain itu, rumusan kejahatan perang dalam Statua Roma diatur secara jelas dan lengkap serta sistematis sehingga sulit ditafsirkan selain apa yang tertulis. Dalam Statuta Roma, perbuatan-perbuatan yang dikualifikasikan sebagai kejahatan perang dibagi menjadi empat kelompok:
a. Pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa berupa perbuatan yang ditujukan terhadap orang dan/atau benda yang dilindungi oleh konvensi;
b. Pelanggaran serius lainnya terhadap hukum dan kebiasaan konflik bersenjata;
c. Pelanggaran terhadap article 3 common to the four Geneva Convention 1949 dalam hal non international armed conflict;
d. Pelanggaran serius lainnya terhadap hukum dan kebiasaan yang berlaku dalam non-international armed conflict.
4) Kejahatan Agresi Militer
Kejahatan terhadap agresi telah mendapatkan tempatnya dalam hukum internasional jauh sebelum Perang Dunia Ke-2, baik dalam perjanjian bilateral maupun multilateral. Dalam London Agreement tanggal 8 Agustus 1945, yang mendasari terbentuknya The International Military Tribunal, pada paragraph a Pasal 6 atas pelanggaran agresi yang dapat menimbulkan pertanggungjawaban kriminal individual. Menyangkut kejahatan agresi, belum ada kesepakatan mengenai definisinya dan apa saja yang menjadi persyaratannya. Para anggota tetap Dewan Keamana PBB mengindikasikan bahwa mereka menyetujui dimasukkannya kejahatan agresi apabila diakui peranan DK sesuai dengan ketentuan Piagam PBB. Banyak negara membedakan antara definisi agresi bagi kepentingan ICC dan kompetensi DK untuk menentukan apakah suatu tindakan itu agresi. Sejumlah negara lain berpandangan bahwa sekalipun DK memiliki kewenangan untuk menentukan apakah suatu tindakan itu agresi namun kewenangan tersebut tidak eksklusif. Walaupun kejahatan agresi masuk ke dalam yuridiksi ICC, tetapi ICC hanya dapat melaksanakan yuridiksinya apabila majelis negara-negara pihak telah mencapai kesepakatan kejahatan tersebut mengenai definisi, unsur-unsur dan kondisi dari agresi tersebut. Pada umumnya hukum internasional diartikan sebagai himpunan dari peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan yang mengikat serta mengatur hubungan-hubungan antara negara-negara dan subjek-subjek hukum lainnya dalam kehidupan masyarakat internasional.
DAFTAR PUSTAKA
Adnan Buyung Nasution dan A. Patra M. Zen, Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi Manusia , edisi ke-3, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dan Kelompok Kerja Ake Arif, 2006
Ambarwati, Denny Ramdhany, dan Rina Rusman, Hukum Humaniter dalam Studi Hubungan Internasional, Jakarta: Rajawali Pers
Arlina Permanasari dkk., Pengantar Hukum Humaniter, Jakarta, 1999
LG. Saraswati dkk, Hak Asasi Manusia Teori, Hukum, Kasus, Depok: Filsafat UI Press, Desember 2006
Prof. Dr. Hata, SH.,MH, Hukum Internasional: Sejarah dan Perkembangan Hingga Pasca Perang Dingin, Malang: Setara Press, Februari 2012
Oentong Wahjoe, Hukum Pidana Internasional; Perkembangan Tindak Pidana Internasional & Proses Penegakannya, Jakarta: Erlangga, 2011
I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional, Yrama Widya, 2006
Rome Statue of the International Criminal
Court Statute of International Criminal Tribunal for Yugoslavia
Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM