Jumat, 27 November 2015

PERKUMPULAN DALAM MENGAJUKAN GUGATAN HUKUM

PERKUMPULAN DALAM MENGAJUKAN GUGATAN HUKUM

1.      Definisi Perkumpulan

Berdasarkan Pasal 1653 KUH Perdata, Perkumpulan di akui sebagai badan hukum (rechtpersoon, legal person), Pasal ini menjelaskan :
Perkumpulan adalah perhimpunan atau perserkatan orang (zedelijke lichamen, corporate body) baik yang didirikan dan diakuioleh kekuasaan umum atau yang didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang dan kesusilaan yang baik, yang lazim disebut perkumpulan.”

Sedangkan dalam Peraturan Menkumham Nomor 6 Tahun 2014 tentang Pengesahan Badan Hukum Perkumpulan (“Permenkumham No. 6/2014”) atau dalam RUU tentang Perkumpulan menjelaskan:
Perkumpulan adalah badan hukum yang merupakan kumpulan orang didirikan untuk mewujudkan kesamaan maksud dan tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan dan tidak membagikan keuntungan kepada anggotanya.

Perkumpulan juga dapat diartikan sebagai suatu pengelompokan anggota-anggota masyarakat yang terorganisir secara sistematis untuk tujuan atau kepentingan tertentu.

2.      Pokok-Pokok Eksistensi dan Karakteristik Perkumpulan
1)      Menurut Staatsblad 1870 No.64, agar Perkumpulan mendapat status badan hukum diperlukan “pengakuan” dalam bentuk “pengesahan” anggaran dasar Menteri.
2)      Perkumpulan dapat melakukan perbuatan hukum seperti manusia (naturlijke person, natural person) untuk dan atas nama Perkumpulan.
3)      Para pengurus Perkumpulan berwenang mewakili Perkumpulan di dalam di luar Pengadilan berdasar kuasa undang-undang.

Dalam Pasal 1655 KUH Perdata menegaskan, hal itu:
·        Para pengurus diberi kuasa bertindak untuk dan atas nama Perkumpulan.
·        Para pengurus bertindak mewakili Perkumpulan di didepan Pengadilan.
·        Semua tindakan pengurus mengikat kepada Perkumpulan,
·        Sekiranya perbuatan atau tindakan pengurus menyimpang dan dan kewenangan atau kekuasaan yang diberikan  kepadanya dalam AD, tindakan itu tetap mengikat Perkumpulan, apabila tindakan itu  memberi manfaat kepada Perkumpulan atau apabila tindakan itu disahkan disahkan rapat anggota.

Adapun Tata cara pengesahan Perkumpulan sebagai badan hukum diatur dalam Peraturan Menkumham Nomor 6 Tahun 2014 tentang Pengesahan Badan Hukum Perkumpulan (“Permenkumham No. 6/2014”).

Rumusan Masalah: Apakah Perkumpulan dapat melakukan gugatan hukum? Jika Ya, berikanlah yurispudensi mengenai haltersebut.

Jawabanya, Ya. Sebagaimana yang telah saya uraikan diatas. Perkumpulan dapat melakukan gugatan Perdata selama Perkumpulan tersebut telah mendapatkan status sebagai badan hukum. Perkumpulan yang berbadan hukum merupakan subjek hukum yang memiliki kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum sebagaimana subyek hukum orang atau individu. Namun, oleh karena bentuk badan hukum yang merupakan himpunan dari orang-orang, maka dalam pelaksanaan perbuatan hukum tersebut, suatu badan hukum diwakili oleh pengurusnya.

Dalam sengketa Tata Usaha Negata, Perkumpulan dapat juga mengajukan gugatan sebagaimana Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang dapat bertindak sebagai penggugat dalam sengketa tata usaha negara ialah:
a. Seseorang (atau beberapa orang masing-masing selaku pribadi);
b. Badan hukum perdata, yaitu setiap badan yang bukan badan hukum publik, seperti perusahaan-perusahaan swasta, organisasi-organisasi, atau perkumpulan-perkumpulan kemasyarakatan yang dapat diwakili oleh pengurusnya yang ditunjuk oleh anggaran dasarnya.

Sebagai contoh kita mengacu pada Putusan MAHKAMAH AGUNG Nomor 490 K/TUN/2015 Tahun 2015
DEWAN PIMPINAN PUSAT PARTAI GOLONGAN KARYA (DPP GOLKAR) VS I. MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI., II. H.R. AGUNG LAKSONO DAN ZAINUDDIN AMALI.

Adapun untuk sengketa perdata, sebagai contoh kasus megacu pada Putusan Kuala Simpang Nomor : 06/PDT.G/2012/PN.KSP Dalam hal ini sebagai Penggugat adalah Rubino dan Judy Feny kedua-duanya bertindak sebagai Wakil Ketua dan Sekretaris PERKUMPULAN SOSIAL DAN TAMAN PENDIDIKAN KUALA SIMPANG dahulu bernama KONG SEAW THONG HIONG HWEE.

Demikianlah penjelasan saya mengenai PERKUMPULAN DALAM MENGAJUKAN GUGATAN HUKUM. Semoga bermanfaat.!












DAFTAR PUSTAKA

Harahap, M, Yahya. Hukum Perseroan Terbatas.Jakarta: Sinar Grafika: Cetakan ketiga: 2011


Perundang-undangan:

Staatsblad 1870 Nomor 64 tentang Perkumpulan-Perkumpulan Berbadan Hukum;

Burgerlijk Wetbook (KUH Perdata)

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986

PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN BADAN HUKUM PERKUMPULAN.



Website:

http://id.scribd.com/doc/67848112/Definisi-Perkumpulan#scribd


http://putusan.mahkamahagung.go.id/



Minggu, 16 Februari 2014

SURAT KUASA KHUSUS

SURAT KUASA KHUSUS
Yang bertandatangan di bawah ini :
Muh. Nabhan SH., pekerjaan wiraswasta, bertempat tinggal di Jl. Majapahit Komp. Perkantoran Bumi Dharma Harmoni No. 34/16 Jakarta Pusat dalam hal ini memilih domisili di kantor kuasanya tersebut di bawah ini. Selanjutnya disebut sebagai “PEMBERI KUASA.”
Dalam hal ini menerangkan bahwa dengan ini memberikan kuasa khusus kepada Abdul Rohim SH., Rizki Muallif SH., dan Achmad Zaini Ichwan Salatalohy SH., masing-masing sebagai Advokat pada Kantor Advokat Arifuddin & Partners Jl. MH. Thamrin Wisma Apa saja Lt. 33 Jakarta Pusat, yang bertindak secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri. Selanjutnya disebut sebagai “PENERIMA KUASA.”
------------------------------------------ K H U S U S ----------------------------------------
Untuk mewakili atau bertindak untuk dan atas nama PEMBERI KUASA demi membela kepentingan hukumnya dalam hal mengajukan gugatan perkara mengenai wanprestasi/ingkar janji di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, terhadap Abo, pekerjaan Konsultan Tenaga Kerja, bertempat tinggal di Jl. Abdul Muis No. 55 Jakarta Pusat.
Untuk itu PENERIMA KUASA berhak untuk beracara pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan semua tingkat Peradilan, membuat, menandatangani  dan mengajukan gugatan, menerima panggilan dan menghadiri persidangan-persidangan pengadilan, memberikan keterangan-keterangan/penjelasan-penjelasan, membuat jawaban-jawaban, replik serta duplik baik tertulis maupun lisan dalam konvensi maupun rekonvensi, mengajukan segala macam alat bukti serta saksi-saksi dan saksi ahli, menerima, menolak ataupun keberatan terhadap segala macam jawaban/keterangan/tanggapan dan segala macam alat bukti termasuk saksi-saksi dan saksi ahli dari atau yang diajukan pihak lawan, mengadakan perdamaian dan menandatangani ataupun menolak aktanya baik di depan sidang pengadilan maupun di luar sidang pengadilan, menerima pembayaran dan menandatangani kwitansi-kwitansi tanda pembayaran, meminta dilakukan penyitaan atau menyatakan keberatan dilakukan penyitaan, meminta dilakukan pencabutan penyitaan atau menyatakan keberatan permintaan pencabutan penyitaan dari pihak lawan, membaca dan mempelajari berkas perkara, meminta penetapan dan putusan pengadilan maupun salinannya, meminta agar penetapan dan putusan pengadilan dilaksanakan, menyatakan banding, membuat, menandatangani dan mengajukan memori banding banding ataupun kontra memori banding, menyatakan kasasi, membuat, menandatangani dan mengajukan memori kasasi ataupun kontra memori kasasi.
Selanjutnya PENERIMA KUASA diberikan pula kuasa untuk menghadap dan berbicara kepada Ketua, Hakim, Panitera/Panitera Pengganti, Juru Sita/Juru Sita pengganti pada semua tingkat peradilan serta semua pejabat instansi/dinas/jawatan Pemerintah sipil maupun Militer di seluruh wilayah hukum Republik Indonesia yang ada hubungannya dengan penyelesaian perkara PEMBERI KUASA.
Dengan kata lain PENERIMA KUASA diberi kuasa sepenuhnya untuk melakukan segala tindakan dan upaya hukum apapun, sepanjang menguntungkan pemberi kuasa serta tidak bertentangan dengan peraturan hukum yang berlaku.
PENERIMA KUASA juga diberikan pula Hak Substitusi dan Hak Retensi.

Demikianlah kuasa khusus ini dibuat untuk digunakan sebagaimana mestinya dan efektif sejak ditandatangani para pihak.
Jakarta, 19 Januari 2014
                                                                                      PEMBERI KUASA
                                    Materi Rp.6.000,-
                                                     TTD

          Manahan

                                  PENERIMA KUASA

    TTD                                 TTD                                          TTD

Abdul Rohim SH.        Rizki Muallif SH.       Achmad Zaini Ichwan Salatalohy SH.



Jumat, 15 Februari 2013

BERAKHIRNYA SUATU PERJANJIAN INTERNASIONAL


Menurut Prof.Dr.Mochtar Kusumaatmadja S.H, mengatakan bahwa suatu perjanjian berakhir karena hal-hal sebagai berikut;
1)      Telah tercapai tujuan dari perjanjian internasional itu
2)      Masa berlaku perjanjian internasional itu sudah habis
3)      Salah satu pihak peserta perjanjian menghilang atau punahnya objek perjanjian itu
4)      Adanya persetujuan dari para peserta untuk mengakhiri perjanjian internasional itu
5)      Adanya perjanjian baru antara peserta yang kemudian meniadakan perjanjian yang terdahulu
6)      Syarat-syarat tentang pengakhiran perjanjian sesuai dengan ketentuan perjanjian itu sudah dipenuhi
7)      Perjanjian secara sepihak diakhiri oleh salah satu peserta dan pengakhiran itu diterima oleh pihak lain.
Dari berbagai ketenuan umum mengenai punahnya perjanjian di atas tampak bahwa berakhirnya perjanjian itu dalam banyak hal dapat di atur oleh para pesertaperjanjian itu sendiri berupa ketentuan yang disepakati.
Sedangkam menurut J.G Starke traktat dapat di akhiri oleh : hukum dan tindakan – tindakan negara – negara peserta.
1.      Berakhirnya traktakt karena hukum
a.       Hilangnya salah satu pokok pesertya pada sebuah traktat bilateral, atau keseluruhan pokok persoalan dari suatu traktat dapat membubarkan instrumen terserbut.
b.      Traktat-traktat dapat berakhir berlakunya karena pecahnya perang antara para peserta.
c.       Kecuali kasus ketentuan-ketentuan untuk perlindungan manusia yang dimuat dalam traktat-traktat yang bersifat kemanusiaan, suatu pelanggaran materi dari sebuah traktat bilateral oleh salah satu peserta akan memberikan hak kepada peserta lain untuk mengakhiri traktat atau menangguhkan berlakunya, sedangkan suatu pelanggaran materil atas suatu traktat multilateral oleh salah satu pesertanya, menurut ketentuan-ketentuan, akan dapat menyebabkan berakhirnya traktat di anatara semua peserta, atau antara negara yang bersalah dan peserta lain yang secara khusus terkena akibat oleh pelanggaran tersebut (Konvensi Wina Pasal 60).
d.      Ketidakmungkinan melaksanakan traktat karena hapusnya atau rusaknya secara permanen suatu tujuan yang sangat diperlukan untuk melaksanakan traktat akan mengakibatkan berakhirnya traktat, tetapi tidak demikian apabila ketidakmungkinan itu disebabkan karena pelanggaran traktat itu sendiri, atau karena suatu kewajiban internasional yang dilaksanakan oleh peserta yang berusaha untuk mengakhiri traktat atas dasar ketidakmungkinan tersebut (Konvensi Wina Pasal 61).
e.       Traktat-traktat yang dibubarkan sebagai akibat dari apa yang secara tradisional disebut sebagai doktrin  rebus sic stantibus, meskipun ada kecendrungan pada saat ini untuk membuang sebutan “rebus sic stantibus”. Menurut doktrin ini, suatu perubahan fundamental pada keadaan fakta yang ada pada waktu traktat itu di bentuk dapat dinyatakan sebagai alasan pengakhiran traktat, atau untuk mengundurkan diri dari traktat itu. Juga ditentukan bahwa ada suatu syarat atau klausula implisit yang diperlukan dalam traktat tersebut klausula rebus sic stantibus yang berbunyi bahwa kewajiban-kewajiban traktat hanya berlaku selama keadaan-keadaan yang esensial tetap tidak berubah.
f.       Suatu traktat yang secara spesifik di tutup untuk jangka waktu yang ditentukan akan berakhir pada saat berakhirnya jangka waktu tersebut.
g.      Apabila adanya denunsiasi (denunciation) terhadap suatu traktat multilateral telah mengurangi jumlah negara peserta menjadi kurang dari jumlah yang ditentukan oleh traktat itu untuk berlakunya , maka traktat tersebut akan berakhir berlakunya apabila tentang hal ini ditentukan baik secara tegas maupun implisit; sebaliknya suatu traktat multilateral tidak berakhir hanya karena alasan fakta bahwa jumlah pesertanya di bawah jumlah yang di perlukan untuk mulai berlakunya (Konvensi Wina pasal 55).
h.      Pasal 64 konvensi Wina menentukan bahwa apabila suatu norma Jus cogens yang menentukan muncul, maka traktat yang ada yang bertentangan dengan norma tersebut menjadi batal dan berakhir. Ini adalah suatu ketentuan yang kontroversial dan mengingat oposisi yang dihadapi pada saat berlangsungnya Konfrensi wina 1968-1969 yang melahirkan konvensi, maka ketentuan itu tidak dapat dikatakan memuat suatu kaidah hukum yang diterima secara universal.Satu keberatan utama terhadap ketentuan tersebut adalah bahwa tidak ada traktat yang secara aman dimasuki peserta tanpa menghadapi bahaya akibat ketidaksahannya karena alasan perkembangan di masa mendatang yang tidak di antisipasi dalam bentuk prinsip-prinsip hukum internasional yang lebih tinggi. Juga, sesungguhnya para peserta tidak akan menyetujui, suatu ketentuan yang dibuat dalam suatu traktat, untuk menyampingkan tersebut risiko demikian, karena ketentuan yang menyampingkan sebagai ketentuan yang tidak sah oleh ketentuan Jus cogens.
2.      Berakhirnya traktat oleh tindakan para peserta
a.       Berakhirnya traktat atau penarikan diri peserta dapat terjadi sesuai setujuan ketentuan-ketentuan traktat, atau setiap waktu dengan persetujuan semua peserta setelah dilakukan konsultai satu sama lain(Konvensi Wina Pasal 54). Suatu traktat juga akan dianggap berakhir apabila semua pesertanya membentuk traktat berikutnya yang berkenaan dengan pokok permasalahan yang sama dan tampak jelas dari traktat yang belakangan ini atau sebaliknya bahwa para peserta menghendaki untuk mengatur permasalahan tersebut dalam traktat baru tersebut, atau bahwa ketentuan-ketentuan dari tyraktat yang di bentuk belakangan sebegitu jauh tidak berkesusaian dengan ketentuan –ketentuan yang di atur dalam traktat sebelumnya sehingga kedua instrumenitu tidak dapat diberlakukan pada waktu yang bersamaan(Konvensi wina Pasal 59).
b.      Apabila suatu negara peserta ingin menarik diri dari sebuah traktat, maka biasanya ia melakukan hal tersebut dengan cara memberitahukan pengakhiran itu, atau dengan tindakan denunsiasi. Istilah “denunsiasi’ (denunciation) menunjuk kepada pemberitahuan oleh satu negara kepada negara-negara peserta lain bahwa pihaknya bermaksud menarik kepada negara-negara peserta lain bahwa pihaknya bermaksud menarik diri dari traktat. Biasanya, traktat itu sendiri mengatur tentang denunsiasi, atau negara terkait, dengan persetujuan peserta-peserta lain, memiliki hak denunsiasi. Dalam hal tidak adanya ketentuan demikian, maka denunsiasi dan penarikan diri tidak diperkenankan dan semua peserta lain harus menyetujui kaidah tentang denunsiasi atau penarikan diri itu, kecuali ditetapkan bahwa peserta-peserta itu menghendaki untuk memperbolehkan kemungkinan denunsiasi atau penarikan diri, atau suatu hak denunsiasi atau penarikan diri secara implisit dimuat dalam traktat (Konvensi Wina Pasal 56) Kesulitan praktis berkenaan dengan denunsiasi atau penarikan diri oleh suatu negara adalah kemungkinan imbulnya kesulitan terhadap negara-negara peserta lain, yang menginginkan untuk meneruskan keikutsertaan dalam traktat terkait, karena mengganggu keseimbangan umum hak-hak dan kewajiban yang sejak awal telah ditetapkan dalam traktat tersebut.
 

 

Rabu, 13 Februari 2013

JENIS-JENIS PERJANJIAN INTERNASIONAL

Perjanjian internasional sebagai sumber hukum formal dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Klasifikasi perjanjian dilihat dari segi pihak-pihak yang mengadakan perjanjian yaitu:
a. Perjanjian antar-negara, merupakan jenis perjanjian yang jumlahnya banyak, hal ini dapat dimaklumi karena negara merupakan subyek hukum internasional yang paling utama dan klasik.
b. Perjanjian antar negara dengan subyek hukum internasional lainnya seperti negara dengan organisasi internasional.
c. Perjanjian antara subyek hukum internasional selain negara satu sama lain.

2. Klasifikasi perjanjian dilihat dari proses atau tahap pembentukannya.
a. Perjanjian yang pembentukannya diadakan melalui tiga tahap yaitu;
(1) perundingan, (2) penandatanganan dan (3) ratifikasi, dan biasanya diadakan untuk hal-hal yang dianggap penting sehingga memerlukan persetujuan dari badan yang memiliki hak untuk mengadakan perjanjian.
b. Perjanjian yang pembentukannya hanya melalui dua tahap karena memerlukan penyelesaian yang cepat, yaitu perundingan dan kemudian penandatanganan. Seperti perjanjian perdagangan yang berjangka pendek.

3. Klasifikasi perjanjian dilihat dari pihak yang membuatnya.
a. Perjanjian bilateral, yaitu suatu perjanjian yang diadakan oleh dua pihak (negara) saja dan mengatur soal-soal khusus yang menyangkut kepentingan kedua belahpihak. Misalnya perjanjian mengenai batas negara.
b. Perjanjian multilateral adalah perjanjian yang diadakan banyak pihak (negara) yang pada umumnya merupakan perjanjian terbuka (openverdrag) di mana hal-hal yang diaturnyapun lazimnya yang menyangkut kepentingan umum yang tidak terbatas pada kepentingan pihak-pihak yang mengadakan perjanjian yetapi juga menyangkut kepentingan yang bukan peserta perjanjian itu sendiri. Perjanjian ini digolongkan pada perjanjian  law making treaties atau perjanjian yang membentuk hukum.

4. Klasifikasi perjanjian ditinjau dari bentuknya.
a. Perjanjian antar Kepala Negara (head of state form) Pihak peserta dari perjanjian disebut pihak peserta agung (High Contracting State)
Dalam praktek pihak yang mewakili negara dapat diwakilkan kepada MENLU atau DUBES atau dapat juga pejabat yang ditunjuk sebagai kuasa penuh (full powers).
b. Perjanjian antar Pemerintah (inter-Goverment form). Perjanjian ini juga sering dtunjuk MENLU atau DUBES atau juga wakil berkuasa penuh. Pihak perjanjian ini tetap disebut contracting state walaupun perjanjian itu dinamakan inter govermental.
c. Perjanjian antar negara (inter-state form), pejabat yang mewakili dapat ditunjuk MENLU, DUBES atau wakil kuasa penuh.

5. Klasifikasi perjanjian dilihat dari sifat pelaksananya.
a. Dispotive treaties (perjanjian yang menentukan) yang maksud tujuannya dianggap selesai atau sudah tercapai dengan pelaksanaan perjanjian itu.
Contoh: Perjanjian tapal batas.
b. Executory treaties (perjanjian yang dilaksanakan) adalah perjanjian yang pelaksanaanya tidak sekaligus, melainkan dilanjutkan terus menerus selama jangka waktu perjanjian itu. Contoh perjanjian perdagangan.

6. Klasifikasi perjanjian dilihat dari segi strukturnya.
a. Law making treaties merupakan perjanjian internasional yang mengandung kaidah-kaidah hukum yang dapat berlaku secara universal bagi anggota-anggota masyarakat bangsa-bangsa, oleh karena itu jenis perjanjian ini dikategorigakan sebagai sumber langsung dari hukum internasional, yang terbuka bagi pihak lain yang tadinya tidak turut serta dalam perjanjian.
b. Treaty contracts (perjanjian yang bersifat kontrak) dimaksudkan perjanjian ini megikat pihak-pihak yang mengadakan perjanjian-perjanjian. Legal effect dari treaty contract ini hanya menyangkut pihak-pihak yang mengadakannya Dan tertutup bagi pihak ketiga. Oleh karena itu treaty contact  tidak melahirkan aturan-aturan hukum yang berlaku umum sehingga tidak dapat dikategorukan sebagai perjanjian yang membentuk hukum. Tetapi treaty contact dapat menjadi kaidah-kaidah yang berlaku umum apabila sudah menjadi hukum kebiasaan Internaional.

-----------
DAFTAR PUSTAKA

Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Alumni 2003.

Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, Bandung: Refika Utama 2006.

Starke, J.G., Pengantar Hukum Internasional, Jakarta: Sinar Grafika

Sam Suhaidi,_____________, Bandung: 1968

Selasa, 12 Februari 2013

Pengertian Perjanjian Internasional


Pengertian perjanjian internasional menurut pendapat para ahli mempunyai pendapat yang berbeda-beda sehingga memiliki keaneka ragaman pengertian. Berikut beberapa pengertian perjanjian internasional:
1. Mochtar Kusumaatmadja
Perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum tertentu.
2. Oppenheimer-Lauterpacht
Perjanjian internasional adalah suatu persetujuan antar-negara yang menimbulkan hak dan kewajiban diantara pihak-pihak yang mengadakannya.
3. G. Schwarzenberger
Perjanjian internasional adalah suatu persetujuan antara subjek-subjek hukum internasional yang menimbulkan kewajiban-kewajiban mengikat dalam hukum internasional.
4. John O'brien
Perjanjian internasional dalam pengertian luasnya adalah perjanjian antara pihak-pihak peserta atau negara-negara ditingkat internasional.
5. Konvensi Wina 1969
Perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan oleh dua negara atau lebih mengadakan atau bermaksud mengadakan suatu hubungan diantara mereka yang diatur oleh hukum internasional.
6. Konvensi Wina 1989
Perjanjian internasional sebagai persetujuan internasional yang diatur menurut hukum internasional dan ditandatangani dalam bentuk tertulis antara satu negara atau lebih dan antara satu atau lebih organisasi internasional atau antar-organisasi internasional.
Perjanjian internasional memiliki banyak istilah yang digunakan dalam praktek, beberapa istilah tersebut menunjukan suatu perbedaan dalam prosedur atau kurang lebih dalam formalitasnya. Istilah-istilah tersebut antara lain: Traktat (Treaty), Konvensi (Convention), Protokol, Persetujuan (Agreement), Deklarasi (Declaration), Modus Viviendi, Pertukaran Nota (MoU), Ketentuan Umum (General Act), Ketentuan Penutu (Final Act), Charter, Pakta, dan Perikatan (Arrangement).
Menurut Mochtar Kusumaatmadja dilihat secara yuridis istilah-istilah perjanjian internasional di atas tidak mempunyai arti tertentu, dengan kata lain istilah istilah tersebut merupakan perjanjian internasional.


-------------
DAFTAR PUSTAKA
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Alumni, 2003
Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, Bandung: Refika Utama, 2006. 
Starke, JG., Pengantar Hukum Internasional Jilid 1 ed. 10 Terj., Jakarta: Sinar Grafika, 2010 

##########
@kaaliloo: Semoga bermanfaat.

Senin, 11 Februari 2013

KEJAHATAN HAM BERAT (bagian 2)

2)Kejahatan Terhadap Kemanusiaan
 Menurut De Gusman ada tiga ciri penting bahwa suatu kejahatan tersebut dikualifikasikan kedalam kejahatan kemanusiaan. Pertama, adanya serangan yang sistematis dan menyebar luas (the existence of a widespread or systematic attack). Kedua, yang menjadi korban adalah kelompok sipil (against civilian). Ketiga, yang dilakukan sebagai kelanjutan dari penerapan dari suatu kebijakan negara (the attack is in furthterance of a policy). Ketiga unsur tersebut dipandang sebagai kejahatab pidana internasional oleh karena esensinya telah menimbulkan gangguan terhadap moral dan tata tertib hukum internasional.Sedangkan menurut Bassiouni kualifikasi terhadap kejahatan kemanusiaan terdiri dari lima unsur, (1) kejahatan khusu yang dilakukan sebagai bagian dari kebijakan negara; (2) tindakan yang didasarkan kepada penenkanan dan diskriminasi terhadap suatu grup yang personalitanya dapat diidentifikasi; (3) tindakan-tindakan tersebut dilakukan sebagai kejahatan dalam hukum pidana nasional suatu negara; (4) hal itu dilakukan oleh petugas atau pejabat negara atau agen-agen terkait dalam pelaksanaan kebijakan; (5) kejahatan khusus tersebut dapat dikaitkan kepada perang diatas hukum atas Piagam Hukum.
Dalam Pasal 7 Statuta Roma disebutkan bahwa kejahatan kemanusiaan adalah kejahatan-kejahatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas dan sistematik yang ditujukan kepada suatu kelompok sipil, dengan mengetahui adanya serangan itu. Adapun yang termasuk dalam lingkup kejahatan kemanusiaan menurut Pasal 7 Statuta Roma adalah:
1. Pembunuhan;
2. Pemusnahan;
3. Perbudakan;
4. Deportasi atau pemindahan paksa penduduk;
5. Pemenjaraan atau perampasan berat atas kebebasan fisik dengan melanggar aturan-aturan dasar pelanggaran hukum internasional;
6. Penyiksaan;
7. Perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi, penghamilan paksa, pemaksaan sterilisasi, atau suatu bentuk kekerasan seksual lain yang cukup berat;
8. Persekusi (Penganiayaan) terhadap suatu kelompok yang dapat diidentifikasi atau kolektivitas atas dasar politik, ras, nasional, etnis, budaya, agama, gender, sebagai didefenisikan dalam ayat 3, atau atas dasar lain yang secara universal diakui sebagai tidak diijinkan berdasarkan hukum internasional, yang berhubungan dalam setiap perbuatan yang dimaksud dalam ayat ini atau setiap kejahatan yang berada dalam jurisdiksi mahkamah;
9. Penghilangan paksa;
10. Kejahatan apartheid;
11. Perbuatan tidak manusiawi lain dengan sifat sama yang secara sengaja menyebabkan penderitaan berat, atau luka serius terhadap badan atau mental atau kesehatan fisik.
Sedangkan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dalam Pasal 9 merujuk pengertian kejahatan terhadap kemanusiaan yang sama dengan isi Pasal 7 Statuta Roma, kecuali poin (k) yang tidak disertakan dalam Pasal 9.  
3) Kejahatan Perang
Istilah kejahatan perang dalam Statuta Roma secara eksplisit dicantumkan dalam Pasal 8. Selain itu, rumusan kejahatan perang dalam Statua Roma diatur secara jelas dan lengkap serta sistematis sehingga sulit ditafsirkan selain apa yang tertulis. Dalam Statuta Roma, perbuatan-perbuatan yang dikualifikasikan sebagai kejahatan perang dibagi menjadi empat kelompok:
a. Pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa berupa perbuatan yang ditujukan terhadap orang dan/atau benda yang dilindungi oleh konvensi;
b. Pelanggaran serius lainnya terhadap hukum dan kebiasaan konflik bersenjata;
c. Pelanggaran terhadap article 3 common to the four Geneva Convention 1949 dalam hal non international armed conflict;
d. Pelanggaran serius lainnya terhadap hukum dan kebiasaan yang berlaku dalam non-international armed conflict.
4) Kejahatan Agresi Militer
Kejahatan terhadap agresi telah mendapatkan tempatnya dalam hukum internasional jauh sebelum Perang Dunia Ke-2, baik dalam perjanjian bilateral  maupun multilateral. Dalam London Agreement tanggal 8 Agustus 1945, yang mendasari terbentuknya The International Military Tribunal, pada paragraph a Pasal 6 atas pelanggaran agresi yang dapat menimbulkan pertanggungjawaban kriminal individual. Menyangkut kejahatan agresi, belum ada kesepakatan mengenai definisinya dan apa saja yang menjadi persyaratannya. Para anggota tetap Dewan Keamana PBB mengindikasikan bahwa mereka menyetujui dimasukkannya kejahatan agresi apabila diakui peranan DK sesuai dengan ketentuan Piagam PBB. Banyak negara membedakan antara definisi agresi bagi kepentingan ICC dan kompetensi DK untuk menentukan apakah suatu tindakan itu agresi. Sejumlah negara lain berpandangan bahwa sekalipun DK memiliki kewenangan untuk menentukan apakah suatu tindakan itu agresi namun kewenangan tersebut tidak eksklusif. Walaupun kejahatan agresi masuk ke dalam yuridiksi ICC, tetapi ICC hanya dapat melaksanakan yuridiksinya apabila majelis negara-negara pihak telah mencapai kesepakatan kejahatan tersebut mengenai definisi, unsur-unsur dan kondisi dari agresi tersebut. Pada umumnya hukum internasional diartikan sebagai himpunan dari peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan yang mengikat serta mengatur hubungan-hubungan antara negara-negara dan subjek-subjek hukum lainnya dalam  kehidupan masyarakat  internasional.


DAFTAR PUSTAKA
Adnan Buyung Nasution dan A. Patra M. Zen, Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi Manusia , edisi ke-3,  Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dan Kelompok Kerja Ake Arif, 2006
Ambarwati, Denny Ramdhany, dan Rina Rusman, Hukum Humaniter dalam Studi Hubungan Internasional, Jakarta: Rajawali Pers
Arlina Permanasari dkk., Pengantar Hukum Humaniter, Jakarta, 1999
LG. Saraswati dkk, Hak Asasi Manusia Teori, Hukum, Kasus, Depok: Filsafat UI Press, Desember 2006
Prof. Dr. Hata, SH.,MH, Hukum Internasional: Sejarah dan Perkembangan Hingga Pasca Perang Dingin, Malang: Setara Press, Februari 2012
Oentong Wahjoe, Hukum Pidana Internasional; Perkembangan Tindak Pidana Internasional & Proses Penegakannya, Jakarta: Erlangga, 2011
I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional, Yrama Widya, 2006
Rome Statue of the International Criminal
Court Statute of International Criminal Tribunal for Yugoslavia
Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM