Jumat, 15 Februari 2013

BERAKHIRNYA SUATU PERJANJIAN INTERNASIONAL


Menurut Prof.Dr.Mochtar Kusumaatmadja S.H, mengatakan bahwa suatu perjanjian berakhir karena hal-hal sebagai berikut;
1)      Telah tercapai tujuan dari perjanjian internasional itu
2)      Masa berlaku perjanjian internasional itu sudah habis
3)      Salah satu pihak peserta perjanjian menghilang atau punahnya objek perjanjian itu
4)      Adanya persetujuan dari para peserta untuk mengakhiri perjanjian internasional itu
5)      Adanya perjanjian baru antara peserta yang kemudian meniadakan perjanjian yang terdahulu
6)      Syarat-syarat tentang pengakhiran perjanjian sesuai dengan ketentuan perjanjian itu sudah dipenuhi
7)      Perjanjian secara sepihak diakhiri oleh salah satu peserta dan pengakhiran itu diterima oleh pihak lain.
Dari berbagai ketenuan umum mengenai punahnya perjanjian di atas tampak bahwa berakhirnya perjanjian itu dalam banyak hal dapat di atur oleh para pesertaperjanjian itu sendiri berupa ketentuan yang disepakati.
Sedangkam menurut J.G Starke traktat dapat di akhiri oleh : hukum dan tindakan – tindakan negara – negara peserta.
1.      Berakhirnya traktakt karena hukum
a.       Hilangnya salah satu pokok pesertya pada sebuah traktat bilateral, atau keseluruhan pokok persoalan dari suatu traktat dapat membubarkan instrumen terserbut.
b.      Traktat-traktat dapat berakhir berlakunya karena pecahnya perang antara para peserta.
c.       Kecuali kasus ketentuan-ketentuan untuk perlindungan manusia yang dimuat dalam traktat-traktat yang bersifat kemanusiaan, suatu pelanggaran materi dari sebuah traktat bilateral oleh salah satu peserta akan memberikan hak kepada peserta lain untuk mengakhiri traktat atau menangguhkan berlakunya, sedangkan suatu pelanggaran materil atas suatu traktat multilateral oleh salah satu pesertanya, menurut ketentuan-ketentuan, akan dapat menyebabkan berakhirnya traktat di anatara semua peserta, atau antara negara yang bersalah dan peserta lain yang secara khusus terkena akibat oleh pelanggaran tersebut (Konvensi Wina Pasal 60).
d.      Ketidakmungkinan melaksanakan traktat karena hapusnya atau rusaknya secara permanen suatu tujuan yang sangat diperlukan untuk melaksanakan traktat akan mengakibatkan berakhirnya traktat, tetapi tidak demikian apabila ketidakmungkinan itu disebabkan karena pelanggaran traktat itu sendiri, atau karena suatu kewajiban internasional yang dilaksanakan oleh peserta yang berusaha untuk mengakhiri traktat atas dasar ketidakmungkinan tersebut (Konvensi Wina Pasal 61).
e.       Traktat-traktat yang dibubarkan sebagai akibat dari apa yang secara tradisional disebut sebagai doktrin  rebus sic stantibus, meskipun ada kecendrungan pada saat ini untuk membuang sebutan “rebus sic stantibus”. Menurut doktrin ini, suatu perubahan fundamental pada keadaan fakta yang ada pada waktu traktat itu di bentuk dapat dinyatakan sebagai alasan pengakhiran traktat, atau untuk mengundurkan diri dari traktat itu. Juga ditentukan bahwa ada suatu syarat atau klausula implisit yang diperlukan dalam traktat tersebut klausula rebus sic stantibus yang berbunyi bahwa kewajiban-kewajiban traktat hanya berlaku selama keadaan-keadaan yang esensial tetap tidak berubah.
f.       Suatu traktat yang secara spesifik di tutup untuk jangka waktu yang ditentukan akan berakhir pada saat berakhirnya jangka waktu tersebut.
g.      Apabila adanya denunsiasi (denunciation) terhadap suatu traktat multilateral telah mengurangi jumlah negara peserta menjadi kurang dari jumlah yang ditentukan oleh traktat itu untuk berlakunya , maka traktat tersebut akan berakhir berlakunya apabila tentang hal ini ditentukan baik secara tegas maupun implisit; sebaliknya suatu traktat multilateral tidak berakhir hanya karena alasan fakta bahwa jumlah pesertanya di bawah jumlah yang di perlukan untuk mulai berlakunya (Konvensi Wina pasal 55).
h.      Pasal 64 konvensi Wina menentukan bahwa apabila suatu norma Jus cogens yang menentukan muncul, maka traktat yang ada yang bertentangan dengan norma tersebut menjadi batal dan berakhir. Ini adalah suatu ketentuan yang kontroversial dan mengingat oposisi yang dihadapi pada saat berlangsungnya Konfrensi wina 1968-1969 yang melahirkan konvensi, maka ketentuan itu tidak dapat dikatakan memuat suatu kaidah hukum yang diterima secara universal.Satu keberatan utama terhadap ketentuan tersebut adalah bahwa tidak ada traktat yang secara aman dimasuki peserta tanpa menghadapi bahaya akibat ketidaksahannya karena alasan perkembangan di masa mendatang yang tidak di antisipasi dalam bentuk prinsip-prinsip hukum internasional yang lebih tinggi. Juga, sesungguhnya para peserta tidak akan menyetujui, suatu ketentuan yang dibuat dalam suatu traktat, untuk menyampingkan tersebut risiko demikian, karena ketentuan yang menyampingkan sebagai ketentuan yang tidak sah oleh ketentuan Jus cogens.
2.      Berakhirnya traktat oleh tindakan para peserta
a.       Berakhirnya traktat atau penarikan diri peserta dapat terjadi sesuai setujuan ketentuan-ketentuan traktat, atau setiap waktu dengan persetujuan semua peserta setelah dilakukan konsultai satu sama lain(Konvensi Wina Pasal 54). Suatu traktat juga akan dianggap berakhir apabila semua pesertanya membentuk traktat berikutnya yang berkenaan dengan pokok permasalahan yang sama dan tampak jelas dari traktat yang belakangan ini atau sebaliknya bahwa para peserta menghendaki untuk mengatur permasalahan tersebut dalam traktat baru tersebut, atau bahwa ketentuan-ketentuan dari tyraktat yang di bentuk belakangan sebegitu jauh tidak berkesusaian dengan ketentuan –ketentuan yang di atur dalam traktat sebelumnya sehingga kedua instrumenitu tidak dapat diberlakukan pada waktu yang bersamaan(Konvensi wina Pasal 59).
b.      Apabila suatu negara peserta ingin menarik diri dari sebuah traktat, maka biasanya ia melakukan hal tersebut dengan cara memberitahukan pengakhiran itu, atau dengan tindakan denunsiasi. Istilah “denunsiasi’ (denunciation) menunjuk kepada pemberitahuan oleh satu negara kepada negara-negara peserta lain bahwa pihaknya bermaksud menarik kepada negara-negara peserta lain bahwa pihaknya bermaksud menarik diri dari traktat. Biasanya, traktat itu sendiri mengatur tentang denunsiasi, atau negara terkait, dengan persetujuan peserta-peserta lain, memiliki hak denunsiasi. Dalam hal tidak adanya ketentuan demikian, maka denunsiasi dan penarikan diri tidak diperkenankan dan semua peserta lain harus menyetujui kaidah tentang denunsiasi atau penarikan diri itu, kecuali ditetapkan bahwa peserta-peserta itu menghendaki untuk memperbolehkan kemungkinan denunsiasi atau penarikan diri, atau suatu hak denunsiasi atau penarikan diri secara implisit dimuat dalam traktat (Konvensi Wina Pasal 56) Kesulitan praktis berkenaan dengan denunsiasi atau penarikan diri oleh suatu negara adalah kemungkinan imbulnya kesulitan terhadap negara-negara peserta lain, yang menginginkan untuk meneruskan keikutsertaan dalam traktat terkait, karena mengganggu keseimbangan umum hak-hak dan kewajiban yang sejak awal telah ditetapkan dalam traktat tersebut.
 

 

Rabu, 13 Februari 2013

JENIS-JENIS PERJANJIAN INTERNASIONAL

Perjanjian internasional sebagai sumber hukum formal dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Klasifikasi perjanjian dilihat dari segi pihak-pihak yang mengadakan perjanjian yaitu:
a. Perjanjian antar-negara, merupakan jenis perjanjian yang jumlahnya banyak, hal ini dapat dimaklumi karena negara merupakan subyek hukum internasional yang paling utama dan klasik.
b. Perjanjian antar negara dengan subyek hukum internasional lainnya seperti negara dengan organisasi internasional.
c. Perjanjian antara subyek hukum internasional selain negara satu sama lain.

2. Klasifikasi perjanjian dilihat dari proses atau tahap pembentukannya.
a. Perjanjian yang pembentukannya diadakan melalui tiga tahap yaitu;
(1) perundingan, (2) penandatanganan dan (3) ratifikasi, dan biasanya diadakan untuk hal-hal yang dianggap penting sehingga memerlukan persetujuan dari badan yang memiliki hak untuk mengadakan perjanjian.
b. Perjanjian yang pembentukannya hanya melalui dua tahap karena memerlukan penyelesaian yang cepat, yaitu perundingan dan kemudian penandatanganan. Seperti perjanjian perdagangan yang berjangka pendek.

3. Klasifikasi perjanjian dilihat dari pihak yang membuatnya.
a. Perjanjian bilateral, yaitu suatu perjanjian yang diadakan oleh dua pihak (negara) saja dan mengatur soal-soal khusus yang menyangkut kepentingan kedua belahpihak. Misalnya perjanjian mengenai batas negara.
b. Perjanjian multilateral adalah perjanjian yang diadakan banyak pihak (negara) yang pada umumnya merupakan perjanjian terbuka (openverdrag) di mana hal-hal yang diaturnyapun lazimnya yang menyangkut kepentingan umum yang tidak terbatas pada kepentingan pihak-pihak yang mengadakan perjanjian yetapi juga menyangkut kepentingan yang bukan peserta perjanjian itu sendiri. Perjanjian ini digolongkan pada perjanjian  law making treaties atau perjanjian yang membentuk hukum.

4. Klasifikasi perjanjian ditinjau dari bentuknya.
a. Perjanjian antar Kepala Negara (head of state form) Pihak peserta dari perjanjian disebut pihak peserta agung (High Contracting State)
Dalam praktek pihak yang mewakili negara dapat diwakilkan kepada MENLU atau DUBES atau dapat juga pejabat yang ditunjuk sebagai kuasa penuh (full powers).
b. Perjanjian antar Pemerintah (inter-Goverment form). Perjanjian ini juga sering dtunjuk MENLU atau DUBES atau juga wakil berkuasa penuh. Pihak perjanjian ini tetap disebut contracting state walaupun perjanjian itu dinamakan inter govermental.
c. Perjanjian antar negara (inter-state form), pejabat yang mewakili dapat ditunjuk MENLU, DUBES atau wakil kuasa penuh.

5. Klasifikasi perjanjian dilihat dari sifat pelaksananya.
a. Dispotive treaties (perjanjian yang menentukan) yang maksud tujuannya dianggap selesai atau sudah tercapai dengan pelaksanaan perjanjian itu.
Contoh: Perjanjian tapal batas.
b. Executory treaties (perjanjian yang dilaksanakan) adalah perjanjian yang pelaksanaanya tidak sekaligus, melainkan dilanjutkan terus menerus selama jangka waktu perjanjian itu. Contoh perjanjian perdagangan.

6. Klasifikasi perjanjian dilihat dari segi strukturnya.
a. Law making treaties merupakan perjanjian internasional yang mengandung kaidah-kaidah hukum yang dapat berlaku secara universal bagi anggota-anggota masyarakat bangsa-bangsa, oleh karena itu jenis perjanjian ini dikategorigakan sebagai sumber langsung dari hukum internasional, yang terbuka bagi pihak lain yang tadinya tidak turut serta dalam perjanjian.
b. Treaty contracts (perjanjian yang bersifat kontrak) dimaksudkan perjanjian ini megikat pihak-pihak yang mengadakan perjanjian-perjanjian. Legal effect dari treaty contract ini hanya menyangkut pihak-pihak yang mengadakannya Dan tertutup bagi pihak ketiga. Oleh karena itu treaty contact  tidak melahirkan aturan-aturan hukum yang berlaku umum sehingga tidak dapat dikategorukan sebagai perjanjian yang membentuk hukum. Tetapi treaty contact dapat menjadi kaidah-kaidah yang berlaku umum apabila sudah menjadi hukum kebiasaan Internaional.

-----------
DAFTAR PUSTAKA

Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Alumni 2003.

Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, Bandung: Refika Utama 2006.

Starke, J.G., Pengantar Hukum Internasional, Jakarta: Sinar Grafika

Sam Suhaidi,_____________, Bandung: 1968

Selasa, 12 Februari 2013

Pengertian Perjanjian Internasional


Pengertian perjanjian internasional menurut pendapat para ahli mempunyai pendapat yang berbeda-beda sehingga memiliki keaneka ragaman pengertian. Berikut beberapa pengertian perjanjian internasional:
1. Mochtar Kusumaatmadja
Perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum tertentu.
2. Oppenheimer-Lauterpacht
Perjanjian internasional adalah suatu persetujuan antar-negara yang menimbulkan hak dan kewajiban diantara pihak-pihak yang mengadakannya.
3. G. Schwarzenberger
Perjanjian internasional adalah suatu persetujuan antara subjek-subjek hukum internasional yang menimbulkan kewajiban-kewajiban mengikat dalam hukum internasional.
4. John O'brien
Perjanjian internasional dalam pengertian luasnya adalah perjanjian antara pihak-pihak peserta atau negara-negara ditingkat internasional.
5. Konvensi Wina 1969
Perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan oleh dua negara atau lebih mengadakan atau bermaksud mengadakan suatu hubungan diantara mereka yang diatur oleh hukum internasional.
6. Konvensi Wina 1989
Perjanjian internasional sebagai persetujuan internasional yang diatur menurut hukum internasional dan ditandatangani dalam bentuk tertulis antara satu negara atau lebih dan antara satu atau lebih organisasi internasional atau antar-organisasi internasional.
Perjanjian internasional memiliki banyak istilah yang digunakan dalam praktek, beberapa istilah tersebut menunjukan suatu perbedaan dalam prosedur atau kurang lebih dalam formalitasnya. Istilah-istilah tersebut antara lain: Traktat (Treaty), Konvensi (Convention), Protokol, Persetujuan (Agreement), Deklarasi (Declaration), Modus Viviendi, Pertukaran Nota (MoU), Ketentuan Umum (General Act), Ketentuan Penutu (Final Act), Charter, Pakta, dan Perikatan (Arrangement).
Menurut Mochtar Kusumaatmadja dilihat secara yuridis istilah-istilah perjanjian internasional di atas tidak mempunyai arti tertentu, dengan kata lain istilah istilah tersebut merupakan perjanjian internasional.


-------------
DAFTAR PUSTAKA
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Alumni, 2003
Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, Bandung: Refika Utama, 2006. 
Starke, JG., Pengantar Hukum Internasional Jilid 1 ed. 10 Terj., Jakarta: Sinar Grafika, 2010 

##########
@kaaliloo: Semoga bermanfaat.

Senin, 11 Februari 2013

KEJAHATAN HAM BERAT (bagian 2)

2)Kejahatan Terhadap Kemanusiaan
 Menurut De Gusman ada tiga ciri penting bahwa suatu kejahatan tersebut dikualifikasikan kedalam kejahatan kemanusiaan. Pertama, adanya serangan yang sistematis dan menyebar luas (the existence of a widespread or systematic attack). Kedua, yang menjadi korban adalah kelompok sipil (against civilian). Ketiga, yang dilakukan sebagai kelanjutan dari penerapan dari suatu kebijakan negara (the attack is in furthterance of a policy). Ketiga unsur tersebut dipandang sebagai kejahatab pidana internasional oleh karena esensinya telah menimbulkan gangguan terhadap moral dan tata tertib hukum internasional.Sedangkan menurut Bassiouni kualifikasi terhadap kejahatan kemanusiaan terdiri dari lima unsur, (1) kejahatan khusu yang dilakukan sebagai bagian dari kebijakan negara; (2) tindakan yang didasarkan kepada penenkanan dan diskriminasi terhadap suatu grup yang personalitanya dapat diidentifikasi; (3) tindakan-tindakan tersebut dilakukan sebagai kejahatan dalam hukum pidana nasional suatu negara; (4) hal itu dilakukan oleh petugas atau pejabat negara atau agen-agen terkait dalam pelaksanaan kebijakan; (5) kejahatan khusus tersebut dapat dikaitkan kepada perang diatas hukum atas Piagam Hukum.
Dalam Pasal 7 Statuta Roma disebutkan bahwa kejahatan kemanusiaan adalah kejahatan-kejahatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas dan sistematik yang ditujukan kepada suatu kelompok sipil, dengan mengetahui adanya serangan itu. Adapun yang termasuk dalam lingkup kejahatan kemanusiaan menurut Pasal 7 Statuta Roma adalah:
1. Pembunuhan;
2. Pemusnahan;
3. Perbudakan;
4. Deportasi atau pemindahan paksa penduduk;
5. Pemenjaraan atau perampasan berat atas kebebasan fisik dengan melanggar aturan-aturan dasar pelanggaran hukum internasional;
6. Penyiksaan;
7. Perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi, penghamilan paksa, pemaksaan sterilisasi, atau suatu bentuk kekerasan seksual lain yang cukup berat;
8. Persekusi (Penganiayaan) terhadap suatu kelompok yang dapat diidentifikasi atau kolektivitas atas dasar politik, ras, nasional, etnis, budaya, agama, gender, sebagai didefenisikan dalam ayat 3, atau atas dasar lain yang secara universal diakui sebagai tidak diijinkan berdasarkan hukum internasional, yang berhubungan dalam setiap perbuatan yang dimaksud dalam ayat ini atau setiap kejahatan yang berada dalam jurisdiksi mahkamah;
9. Penghilangan paksa;
10. Kejahatan apartheid;
11. Perbuatan tidak manusiawi lain dengan sifat sama yang secara sengaja menyebabkan penderitaan berat, atau luka serius terhadap badan atau mental atau kesehatan fisik.
Sedangkan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dalam Pasal 9 merujuk pengertian kejahatan terhadap kemanusiaan yang sama dengan isi Pasal 7 Statuta Roma, kecuali poin (k) yang tidak disertakan dalam Pasal 9.  
3) Kejahatan Perang
Istilah kejahatan perang dalam Statuta Roma secara eksplisit dicantumkan dalam Pasal 8. Selain itu, rumusan kejahatan perang dalam Statua Roma diatur secara jelas dan lengkap serta sistematis sehingga sulit ditafsirkan selain apa yang tertulis. Dalam Statuta Roma, perbuatan-perbuatan yang dikualifikasikan sebagai kejahatan perang dibagi menjadi empat kelompok:
a. Pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa berupa perbuatan yang ditujukan terhadap orang dan/atau benda yang dilindungi oleh konvensi;
b. Pelanggaran serius lainnya terhadap hukum dan kebiasaan konflik bersenjata;
c. Pelanggaran terhadap article 3 common to the four Geneva Convention 1949 dalam hal non international armed conflict;
d. Pelanggaran serius lainnya terhadap hukum dan kebiasaan yang berlaku dalam non-international armed conflict.
4) Kejahatan Agresi Militer
Kejahatan terhadap agresi telah mendapatkan tempatnya dalam hukum internasional jauh sebelum Perang Dunia Ke-2, baik dalam perjanjian bilateral  maupun multilateral. Dalam London Agreement tanggal 8 Agustus 1945, yang mendasari terbentuknya The International Military Tribunal, pada paragraph a Pasal 6 atas pelanggaran agresi yang dapat menimbulkan pertanggungjawaban kriminal individual. Menyangkut kejahatan agresi, belum ada kesepakatan mengenai definisinya dan apa saja yang menjadi persyaratannya. Para anggota tetap Dewan Keamana PBB mengindikasikan bahwa mereka menyetujui dimasukkannya kejahatan agresi apabila diakui peranan DK sesuai dengan ketentuan Piagam PBB. Banyak negara membedakan antara definisi agresi bagi kepentingan ICC dan kompetensi DK untuk menentukan apakah suatu tindakan itu agresi. Sejumlah negara lain berpandangan bahwa sekalipun DK memiliki kewenangan untuk menentukan apakah suatu tindakan itu agresi namun kewenangan tersebut tidak eksklusif. Walaupun kejahatan agresi masuk ke dalam yuridiksi ICC, tetapi ICC hanya dapat melaksanakan yuridiksinya apabila majelis negara-negara pihak telah mencapai kesepakatan kejahatan tersebut mengenai definisi, unsur-unsur dan kondisi dari agresi tersebut. Pada umumnya hukum internasional diartikan sebagai himpunan dari peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan yang mengikat serta mengatur hubungan-hubungan antara negara-negara dan subjek-subjek hukum lainnya dalam  kehidupan masyarakat  internasional.


DAFTAR PUSTAKA
Adnan Buyung Nasution dan A. Patra M. Zen, Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi Manusia , edisi ke-3,  Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dan Kelompok Kerja Ake Arif, 2006
Ambarwati, Denny Ramdhany, dan Rina Rusman, Hukum Humaniter dalam Studi Hubungan Internasional, Jakarta: Rajawali Pers
Arlina Permanasari dkk., Pengantar Hukum Humaniter, Jakarta, 1999
LG. Saraswati dkk, Hak Asasi Manusia Teori, Hukum, Kasus, Depok: Filsafat UI Press, Desember 2006
Prof. Dr. Hata, SH.,MH, Hukum Internasional: Sejarah dan Perkembangan Hingga Pasca Perang Dingin, Malang: Setara Press, Februari 2012
Oentong Wahjoe, Hukum Pidana Internasional; Perkembangan Tindak Pidana Internasional & Proses Penegakannya, Jakarta: Erlangga, 2011
I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional, Yrama Widya, 2006
Rome Statue of the International Criminal
Court Statute of International Criminal Tribunal for Yugoslavia
Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM

KEJAHATAN HAM BERAT

Istilah kejahatan mengandung dua hal penting. Pertama pelanggar dapat diadili di depan hukum dan juri (indictable offence) dalam suatu institusi peradilan. Kedua, pelanggaran sumir (summary offence) yang terkait dengan perbuatan seseorang yang melanggar karena tidak mengindahkan kewajiban-kewajiban hukum secara ringan dan sederhana, sehingga penyelesaiannya tidak selalu harus melalui lembaga peradilan. Adapun suatu perbuatan dikualifikasikan sebagai pelanggaran HAM berat, setidaknya harus mengandung adanya perbuatan yang melanggar (act of commision), ada unsur kesengajaan dan sikap membiarkan suatu perbuatan yang mestinya harus dicegah (act of ommision), secara sistematis, menimbulkan akibat yang meluas dan rasa takut luar biasa, dan serangan ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil. Sifat dari perbuatan yang sistematis dan meluas itu menimbulkan perasaan terrorized (ancaman takut luar biasa), atau seseorang yang gelisah karena sangat ketakutan (extreme fear) dan serangan ditujukan kepada penduduk sipil. Menurut Muladi pelanggaran HAM berat merupakan tindak pidana sebagaimana tindak pidana lain yang bersifat melawan hukum (unlawful) dan sama sekali tidak ada alasan pembenarnya. Menurut Ian Brownlie, ahli-ahli hukum dari waktu ke waktu telah berusaha mengklasifikasi peraturan-peraturan, atau hak-hak, kewajiban-kewajiban dengan menggunakan istilah fundamental atas dasar hak-hak yang melekat dan tidak dapat dipisahkan, dalam prakteknya tidak cukup berhasil. Efektifitas istilah-istilah tersebut mulai meningkat ketika ahli-ahli internasional merumuskan bahwa hak-hak fundamental dipandang jus cogens, atau pronsip-prinsip yang mengungguli ketentuan hukum internasional lainnya. Jus cogens itu dapat terdiri dari peraturan-peraturan kebiasaan internasional yang tidak bisa diabaikan oleh adanya perjanjian atau konvensi yang bertentangan. Konseskuensinya, bilamana terdapat perjanjian internasional yang bertentangan dengan kewajiban internasional seperti jus cogens maka ketentuan tersebut menjadi batal. Kedudukan jus cogens dan kewajiban erga omnes membuktikan pentingnya masyarakat internasional terhadap pengakuan adanya tindakan yang dipandang sebagai kejahatan terhadap seluruh masyarakat internasional.

Jenis-Jenis Kejahatan HAM Berat: Pelanggaran HAM berat atau dikenal dengan “gross violation of human rights” atau “greaves breaches of human rights” sebagaimana disebut secara eksplisit dalam Konvensi Jenewa 1949 dan protokolnya. Di dalam Statuta Roma 1998 sebutan tersebut ada padanannya tetapi dengan istilah lain, yaitu “the most serious crimes of concern to the international community as a whole”. Menurut Peter Baehr, pelanggaran HAM berat akan menyangkut masalah-masalah yang meliputi:

“The prohibition of savery, the right to life, torture and cruel, inhuman or degrading treatment or punishment, genocide, disappearances and ‘ethnic cleansing’'.

Dalam Statuta Roma (1998) pengertian tersebut ditegaskan meliputi genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan,kejahatan perang,dan agresi yang merupakan yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional. Sedangkan Indonesia hanya memasukkan kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan, sebagaimana dalam Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM mengatur Pelanggaran HAM berat yang meliputi genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.  

1) Genosida
Istilah genosida pertama kali digunakan pada tahun 1944 oleh seorang ahli hukum yang berasal dari Polandia, Raphael Lemkin dalam bukunya Axis Rule in Occupied Europe. Istilah genosida berasal dari kata geno dan cide. Geno tau Genos berasal dari bahasa Yunani kuno yang berarti ras, bangsa atau etnis. Sedangkan cide atau cidium berasal dari bahasa latin yang berarti membunuh. Secara harfiah genosida dapat diartikan sebagai pembunuhan  ras. Lemkin mendefinisikan genosida secara lengkap sebagai:

”as intentional coordinated plan of different actions aiming at the destruction of essential foundations of the life of national groups with the aim of annihilating the groups themselves. The objectives of such a plan would be disintegration of the political and social linstitutions of culture, language, national feelings, religion, economic existence, of national groups and the destruction of the personal security, liberty, health, dignity and even the lives of the individuals belonging to such groups,…. The actions involved are directed against individuals, not in their individuall capacity, but as members of the national group”.

Lemkin membagi genosida ke dalam dua fase. Fase pertama adalah menghacurkan pola kebangsaan kelompok yang ditindas. Fase kedua adalah gangguan pola kebangsaan daripenindas. Gangguan ini dapat dilakukan terhadap populasi tertindas yang masih tersisa atau atas teritori, setelah bangsa penindas memindahkan populasi dan menduduki area tersebut dengan warga kelompok penindas.

Pasal 2 Konvensi mengenai Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida dan Pasal 6 Statuta Roma mengenai Mahkamah Pidana Internasional menyatakan genosida berarti setiap dari perbuatan-perbuatan berikut, yang dilakukan dengan tujuan merusak begitu saja, dalam keseluruhan atau sebagian, suatu kelompok bangsa, etnis, rasial atau agama seperti:
a.Membunuh para anggota kelompok;
b.Menyebabkan luka-luka pada tubuh atau mental pada anggota kelompok;
c.Dengan sengaja menimbulkan  pada  kelompok  itu  kondisi  hidup yang menyebabkan  kerusakan fisiknya dalam keseluruhan atau sebagian;
d. Mengenakan  upaya-upaya yang dimaksudkan untuk mencegah kelahiran di dalam kelompok itu;
e. Dengan paksa mengalihkan anak-anak suatu  kelompok  ke  kelompok  lain.

Di Indonesia sendiri dalam Undang-undang Republik Indonesia No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia pada Pasal 7 menyebutkan, “Kejahatan Genosida” adalah pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Di dalam Pasal 8 disebutkan, “Kejahatan genosida sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 tersebut adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara :    
a. membunuh anggota kelompok;
b. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggotaanggota kelompok;
c. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya; d. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau
e. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.

Pasal 8 Undang-undang No. 26 Tahun 2000 di atas tidak mengatur secara tegas kapan dilakukan kejahatan genosida di waktu damai atau di saat perang, tetapi secara konsisten memberi ancaman hukuman kepada pelaku. Pada Pasal 3 Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida disebutkan ada lima perbuatan yang dapat dihukum yaitu: (a) Genosida; (b) Persengkokolan untuk melakukan genosida; (c) Hasutan langsung dan di depan umum, untuk melakukan genosida; (d) Mencoba melakukan genosida; (e) Keterlibatan dalam genosida.

--------------
###(bagian 1)